Rabu Minggu lalu sepulang dari kantor rekan saya seorang staff di
sekreatariat Dewan Provinsi Jawa Barat bercerita mengenai demo yang terjadi di
depang gedung DRD Jabar, sebuah demo menentang gagasan pemilihan kepala daerah
di lakukan oleh DPRD, dan hingga tulisan ini dibuat pro-kontra ini masih
menjadi headline di berbagai media.
Siapakah yang Harus dan
Sebaiknya Memilih ??
Setelah rezim Soeharto turun, reformasi hadir untuk mengubah segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara,Demokratisasi menjadi sebuah euphoria yang meledak di negeri ini, tak kurang dari 2 tahun UU 22 tahun 1999 yang mengatur otonomi daerah muncul. UU 22 1999 memodifikasi sistem pemilihan kepala daerah yang lebih pada desentralistik, para anggota DPRD dapat mengangkat dan memberhentikan Kepala daerah di tingkat provinsi maupun di tingkat daerah bukan lagi hanya sekedar mengajukan calon. Hanya bertahan lima tahun UU 22 Tahun 1999 harus di rubah melalui UU 32 Tahun 2004 salah satu koreksinya adalah UU 22 Tahun 1999 memberikan ruang otonomi daerah yang terlalu luas sehingga sulit muncul koordinasi antara daerah dan pusat. UU 32 tahun 2004 lah celah yang memberikan pintu masuk pada pemilihan langsung oleh rakyat dalam memilih kepala daerahnya sendiri, Gubernur maupun Bupati/walikota.
Sayang 10 tahun terakhir pemilihan kepala daerah
langsung tidak juga mulus perjalananya, Kemendagri setidaknya memiliki catatan
buruk perjalanan Pilkada selama 10 tahun terakhir yang mencengangkan adalah
sudah lebih dari 300 kepala daerah terlibat korupsi.
"Terakhir saya mendapat laporan sudah 309 kepala daerah terlibat proses hukum terkait kasus korupsi, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana," kata Djohermansyah ketika ditemui di Gedung Kemdagri Jakarta. (Republika, 2013).
Kenyataan ini tentunya merupakan antiklimaks dari anggaran 1-1,2 triliun untuk sekali pemilihan yang diharapkan dapat memberikan perubahan signifikan dalam pemerintahan bukan sekedar memenuhi hak demokrasi.
RUU PILKADA ,2014
Dalam RUU
Pilkada yang sedang dibahas saat ini, salah satu substansi yang memicu
pro-kontra adalah gagasan mengembalikanya pemilihan kepala daerah
Bupati/walikota kepada DPRD. Sesungguhnya sah-sah saja gagasan ini muncul namun
kehati-hatian dalam menentukan langkah besar ini sangat diperlukan. Untuk menentuan langkah besar bangsa ini
selanjutnya, semua pihak khususnya para pemangku kepentingan harus cermat, dan
jauh dari unsur kepentingan. Perlu digaris bawahi bahwa daya upaya dan segala
kecerdasan yang dimiliki harus di berdayakan semaksimalnya untuk menemukan
solusi bagi kepentingan bangsa dan negara, bagi Rakyat Indonesia, bukan atas
Egoisme pribadi atau golongan jangan pernah keputusan lahir dasi sebuah
kepentingan tertentu tapi harus dari suatu kebutuhan. Lalu kita juga sah-sah
saja bertanya siapakah yang pantas dan sebaiknya memilih Kepala Daerah ??
1. Kembali dipilih melalui DPRD
Kembali pada
gaya lama , di pilih oleh DPRD. Uji materi konsep ini pada UUD 1945 para ahli
berpendapat tidak ada masalah karena disebutkan pada pancasila sila ke 4 yang
juga termaktub di pembukaan UUD 45 bahwa
Kerakyatan yang di pimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Sila ke 4 membuka ruang untuk memilih kepala
daerah melalui perwakilan, semisalnya DPRD. Pemilihan kepala daeraholeh
DPRD sebenarnya telah lama dipraketkan
di negri ini, pada orde baru DPRD memiliki peranan cukup strategis walaupun
tidak mutlak untuk memilih Kepala daerah, baik Gubernur ataupun walikota.
Sistem pemilihan kepala daerah pada masa orde baru ini di tegaskan pada Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian disusul undang - undang nomor
18/1965 tentang pokok - pokok pemerintahan daerah. Dalam undang - undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan
oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon - calon yang diajukan
oleh DPRD. Hal ini menjamin pemerintahan yang kuat dan stabil, namun
implikasi lainya adalah kedudukan Presiden yang begitu kuat dalam pemerintahan
memberi peluang besar untuk menyalahgunakan kewenanganya (catatanan pada masa
itu tidak ada pembatasan Masa Maksimal seseorang menjadi presiden). Reformasi
akhirnya membalikan keadaan yang pada masa sebelumnya pemerintahan begitu
sentralistik menjadi suatu pemerintahan yang begitu desentralistik, UU 22 Tahun
1999 hadir memberikan era baru bagi pemerintahan di daerah, desentralisasi dan
otonomi daerah berdengung di ribuan kajian dan seminar, pada masa ini seorang
Bupati dan Walikota tidak lagi perlu mendapat izin dari Presiden atau Mendagri
dalam pengangkatanya, DPRD langsung yang memilih calon dan mengangkatnya. UU ini hanya bertahan 5 tahun dengan banyak
koreksi yang kemudian di perbaiki di UU 32 tahun 2004 tntang Pemerintahan
daerah dimana merupakan gerbang pembuka ke arah pemilihan kepala daerah baik
Gubernur ataupun Bupati/Walikota secara langsung.
Jika pemilihan
pada opsi pertama seperti di era orde baru maka implikasi positifnya adalah
pembentukan pemerintah yang kuat, terkoordinasi, dan cenderung bergerak searah,sedangkan
kekhawatiran akan penyalahgunaan kesewenangan seperti terbentuknya rezim
otoriter masih ada namun sesungguhnya kemungkinan itu kecil karena
penyempurnaan peraturan yang mengatur wewenang Presiden salah satunya adalah
pembatasan masa Jabatan dan periode seorang Presiden menjabat. Opsi ke dua
tentu menyelesaikan masalah borosnya anggaran dalam melakukan pilkada langsung
dan sejalan dengan semangat reformasi karena toh sistem ini lahir pasca
reformasi dan memberi ruang gerak mandiri bagi daerah.
Seandainya
pilkada dikembalikan pada DPRD tentunya perlu modifikasi yang tepat karena
masalah utama lainya adalah, apakah bisa Kepala daerah yang terpilih oleh DPRD
tidak ikut terombang-ambing arus politik di daerah yang begitu dinamis, dan
apakah bisa yang terpilih tersebut menjadi penyeimbang DPRD untuk bersama-sama
merumuskan kebijakan yang tepat atau malah hanya menjadi pengekor DPRD ?
2. Dipilih Oleh Rakyat
UU 32 2004 hadir dengn aturan turunanya
untuk memperbaiki UU 22 tahun 1999 dan memberi terobosan baru, dengan membuka
ruang bagi rakyat dalam menentukan kepala daerah secara langsung. Pilkada
langsung merupakan bentuk apresiasi terhadap kedaulatan rakyat, hal ini di
anggap sangat sejalan dengan makna reformasi dan semangat demokratisasi di
Indonesia. Namun seperti yang sempat disebutkan biaya mahal yang dikeluarkan
tidak memberi hasil yang diharapkan, dimana selama 10 tahun terakhir sistem ini
memberi banyak catatan buruk dibanding catatan baik.
Salah satu
permasalahan mendasar adalah terlalu besarnya biaya yang harus di keluarkan
Kabupaten/kota dan jaminan mendapat calon yang elektebilitasnya tidak
dipengaruhi oleh money politic ataupun praktek buruk politik lainya, sehingga
Bupati/walikota yang terpilih merupakan calon terbaik dan bekerja tanpa
memiliki hidden agenda.
Mengatasi
permasalahan mendasar pertama cenderung lebih mudah karena hanya bermain pada
hal teknis, terobosan baru dalam melakukan pemilihan seperti melakukan e-voting
bisa menjadi opsi jawaban mengatasi permasalahan tersebut, namun permasalahan
kedua yaitu mendapat calon yang kompeten dari proses yang murni butuh upaya
lebih keras , bahkan harus memperhatikan faktor di luar non-teknis terkait pengaturan
pemilihan ini sendiri, dimana demokrasi seperti yang dikatakan Plato : “ those who are expert at winning elections and nothing
else will eventually dominate democratic politic“ . Dalam demokrasi
(baca:pemilihan langsung) Plato mengisyaratkan sekumpulan pencuri tidak akan
memilih seorang pendeta seperti sekumpulan pendeta tak akan memilih seorang
pencuri tuk menjadi pemimpinya. Maka kualitas masyarakat adalah hal mutlak
dalam menerapkan demokrasi yang dapat berjalan dengan selayaknya.
3. Opsi lain
Pada
suatu kesempatan Yusril Ihza Mahendra memiliki
pandangan terkait proses pemilihan kepala daerah secara langsung. Menurut
Yusril, akan lebih baik jika pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung cukup
sampai Pemilihan Gubernur (Pilgub). Alasan yang mendasari pandangan Yusril
tersebut adalah mahalnya ongkos politik yang membuat banyaknya kepala daerah
terjerat kasus korupsi. “Pemilihan kepala daerah itu cukup hanya sampai pada
tingkat gubernur saja dilakukan secara langsung,” kata Yusril di Gedung MK,
Jakarta, Senin (16/9/2013) (Kompasiana)
.
Selain dipilih oleh DPRD atupun rakyat secara langsung sesungguhnya masih
ada opsi lain untuk dipertimbangkan dalam melakukan pemilihan Bupati/Walikota,
yaitu di tunjuk sesuai dengan kompetensi melalui Kemendagri yang kewenanganya
dapat dilimpahkan pada Gubernur yang tetap dipilih secara langsung atau oleh
tim khusus bentukan Kemendagri, hal ini merupakan opsi yang mengambil kebaikan
dari efektifitas pemerintahan orde baru dan berupaya melindungi Bupati/walikota
dari situasi politik yang tidak stabil
di daerah sehingga pejabat bupati/walikota mampu bekerja secara profesional.
Selain itu kualitas calon pejabat Walikota/Bupati dapat mudah diukur dan di
kontrol karena berasal dari birokrat murni yang berpengalaman dalam bidang
pemerintahan dan cenderung bebas dari pengaruh politik tertentu. Namun cara ini
mungkin sulit diterima karena cenderung terlihat mengembalikan kewenangan pusat
yang luas sehingga terkesan mengembalikan era sentralistik dan walaupun mendekati
gambaran bentuk aristokrasi yang digambarkan Plato sebagai bentuk ideal namun
penyalahgunaan kewenangan bisa menjadikan lingkaran Oligharki dalam tubuh
pemerintahan.
Saat ini ketika prestasi 10 tahun Pilkada Bupati/walikota langsung sedang
di uji semoga segala pembahasan dan keputusan yang kemudian lahir dapat hadir
dengan tepat untuk memberikan solusi dari segala carut marut yang ada, bukan
sebagai celah untuk membawanya pada kepentingan-kepentingan tertentu dan pada
pelaksanaanya dapat sesuai dengan konsepsi ideal seperti yang telah dirumuskan.
Pada akhirnya kita bisa berdoa semoga semua
yang memiliki daya upaya juga memiliki nurani dan rasa cinta pada negri.
Referensi : Pembukaan UUD 1945 ,Undang-undang 22 Tahun 1999, Undang-undang 32 Tahun 2004
Plato,
Republic, Book 6