birokrasi berasal dari
kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya
meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi
berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Max Weber memandang
Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas
pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta
pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi.
Beberapa pendapat ahli mengenai Birokrasi :
Fritz Morstein Marx yang mendifinisikan birokrasi sebagai tipe organisasi
yang dipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang sifat
spesialisasi dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur
pemerintah.
Ferrel Headi yang mengutip rumusan Thompson menyatakan bahwa birokrasi disusun
sebagai suatu hierarki otorita yang begitu terperinci yang mengatasi pembagian
kerja dan juga diperinci.
Blau dan Page yang
menformulasikan birokrasi sebagai tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan
secara sistemik pekerjaan banyak orang.
Beberapa
pendapat tersebut mungkin cukup bagi kita untuk membuat suatu kesimpulan apa
itu birokrasi. Birokrasi menjadi sebuah sistem yang merupakan bagian dari
administrasi. seperti yang dikatakan Max Weber sebagai suatu istilah kolektif,
mengartikan bahwa birokrasi terdiri dari sekelompok orang atau bahkan
organisasi dimana mereka memiliki suatu wewenang khusus dibidangnya
masing-masing.
Saat ini kita
sering menyamakan pemerintah sebagai suatu birokrasi. padahal hal ini salah
karena keduanya tidak bisa disamakan. Birokrasi merupakan alat negara yang
perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan
tersendiri, oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan eksekutif harus
diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja
sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan.
Pemerintah
merupakan suatu subjek hasil politik sementara birokrat merupakan abdi negara
Dimana
birokrasi harus mendapat pengaruh politik secara minimal. Dalam era saat ini
ketika Indonesia berada pada puncak kebebasan demokrasi dan kekuatan politik
yang multikultural, birokrasi berada pada ujian yang berat untuk mempertahankan
jatidirinya sebagai suatu bentuk sistem yang mengabdi pada negara bukan sebagai
alat bagi kekuasaan politik. Semoga birokrat sebagai subjek dari birokrasi memahami
kedudukanya dan memiliki loyalitas pada negara bukan pada suatu sekte politik
tertentu. Netralitas inilah yang akan membuat birokrasi menjadi efesien dan
efektif serta pengendali iklim politik
di Indonesia.
Untuk memperdalam pemahaman Kita tentang sejarah birokrasi , mari kita simak bagaimana Teori klasik Birokrasi dari para ahli .
GWF Hegel: Birokrasi sebagai Agen Kepentingan Umum
Renungan
Hegel tentang birokrasi muncul dalam konteks filsafat sosial politiknya.
Dilihat dari perspektif sistem pemikirannya yang utuh, birokrasi adalah anasir
konseptual yang tercakup dalam apa yang disebutnya “roh objektif”, yakni
tahapan menengah dari rangkaian perjalanan Roh (Geist) untuk
mengenal dirinya yang termanifestasikan dalam kehidupan sosial. Kita tidak akan
membicarakan sistem metafisis Hegel tentang Roh ini. Cukuplah di sini untuk
membicarakan letak dan fungsi birokrasi dalam ekonomi gagasan Hegel tentang
kehidupan sosial-politik.
Birokrasi dipahami dalam
konteks “Sittlichkeit”, yang dapat diterjemahkan sebagai
tatanan sosial-moral, sebagai suatu tahapan tertinggi dari kehidupan sosial.
Dalam Philosophy
of Right, Hegel
mengatakan bahwa masyarakat sebagai sittlichkeit dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau
substansi etis, yaitu keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Birokrasi adalah
bagian dari negara yang berperan untuk memediasi kepentingan partikular dari
masyarakat sipil dengan kepentingan universal dari negara. Dengan kata lain,
birokrasi adalah jembatan antara negara dengan masyarakat sipil.
Peran
yang sekilas terlihat ganjil ini dapat kita pahami jika kita mengingat bahwa
Hegel memberikan dua karakter pokok pada masyarakat sipil. Pertama, setiap
anggota masyarakat sipil berusaha mengejar kepentingan pribadinya. Mereka
mengerahkan kekuatan reflektifnya dalam pertukaran pasar dan komodifikasi alam
setelah dirinya keluar dari kepompong “feodalistis” keluarga. Dalam rangka
memenuhi tujuan tersebut, anggota masyarakat sipil lainnya dipandang sebagai
sarana untuk meraih tujuan pribadi. Akan tetapi, dan ini karakter pokok kedua
dari masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi kepentingan pribadinya tersebut
mau tidak mau anggota masyarakat sipil haruslah memuaskan kebutuhan dari
anggota masyarakat sipil lainnya. Kepentingan diri yang bersifat timbal balik
menjadi basis dari interaksi masyarakat sipil. Ini menujumkan tesis dari Adam
Smith bahwa pengejaran kepentingan diri akan menciptakan tatanan sosial.
Namun
masyarakat sipil bukanlah substansi yang cukup-diri dan paripurna. Ada berbagai
ekses negatif yang mencuat dalam dinamika masyarakat sipil karena terlalu
mengedepankan, dalam istilah Isaiah Berlin, kebebasan negatif. Fluktuasi pasar
yang liar menyebabkan kesejahteraan tidak dapat dibagi secara merata pada
seluruh anggota masyarakat. Akibatnya terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang
ekstrim. Lagipula, ketidaksamaan natural dalam hal fisik dan intelektual juga
berakibat pada terjadinya ketidaksamaan kemampuan dan sumber daya, yang pada
gilirannya tentu juga memengaruhi kesempatan anggota masyarakat untuk
sejahtera. Masyarakat sipil adalah “kerajaan kebebasan yang hewani”.
Untuk
menetralisasi efek-efek buruk itulah kemudian negara turun tangan. Pasar perlu
diintervensi dan diregulasi oleh negara. Negara harus menjamin bahwa seluruh
anggota masyarakat sipil mempunyai derajat kebebasan yang setara, baik dalam
peluang pekerjaan dan kesejahteraan. Negara harus menciptakan hukum yang
bertujuan untuk memberdayakan kelompok yang kalah dalam persaingan pasar dan
negara harus menyelenggarakan fungsi-fungsi yang tidak dirambah oleh pasar:
pembangunan infrastruktur, penerangan jalan, kesehatan publik, dsb. Dalam hal
ini, lembaga eksekutif memegang peranan yang penting karena dia bertugas untuk
mengimplementasikan dan menegakkan hukum yang dikodifikasikan oleh negara.
Lembaga eksekutif sendiri, oleh Hegel, dibagi menjadi tiga: birokrasi, polisi,
dan kehakiman.
Polisi adalah bagian dari
lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai organ pelayan publik. Konsep
polisi-nya Hegel tidak dapat dipahami secara sempit sebagai instansi yang
identik dengan pengurusan masalah kriminal. Istilah ‘polisi’ sendiri diambil
dari pengertian “politia”,
transliterasi Jerman dari kata Yunani ‘politeia’, yang
artinya “hal atau pengaturan publik”. Polisi adalah bagian dari otoritas publik
yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan keteraturan sosial. Masalah publik
adalah masalah polisi (polizeilich), maka
misalnya polisi bertugas membenahi penerangan jalan, pembangunan jembatan,
penarikan pajak, mengurusi masalah kesehatan warga, mengurusi perwalian anak
dan orang-orang miskin.
Sementara itu, fungsi utama
dari birokrasi adalah memediasi kepentingan masyarakat sipil dengan kepentingan
negara. Birokrasi memegang peranan yang krusial dalam sistem sosial-politik
secara keseluruhan karena nasihat-nasihatnya mampu mengikat negara. Secara
normatif, hukum memang dibuat oleh badan legislatif yang terdiri atas
perwakilan masyarakat sipil. Akan tetapi, bagi Hegel birokrasi dipercaya
memiliki kemampuan untuk mengetahui kepentingan otentik dari masyarakat sipil.
Hegel sebenarnya meragukan kemampuan dari masyarakat untuk secara
kolektif-rasional menggali dan menemukan apakah yang sebenarnya menjadi
kepentingan bersama mereka. Dalam logika dialektis, masyarakat sipil beserta
perwakilannya dipostulatkan hanya mampu mengartikulasikan kepentingan
partikular sedangkan birokrasilah yang mampu mengartikulasikan kepentingan
universal dalam artian kebaikan bersama (bonum commune).
Seperti
Emmanuel Kant, Hegel juga mengatakan bahwa cukuplah secara potensial, dan tidak
perlu secara aktual, bagi masyarakat untuk menyetujui hukum yang dibuat oleh
negara. Jadi jika seseorang mungkin untuk menyetujui hukum, meski dalam
kenyataannya dia tidak setuju dengan hukum tersebut, hukum tersebut tetaplah
legitim dan rasional. Tentu, profil semacam itu mengandung potensi otoritarian
dan Hegel sadar akan hal itu, termasuk bahaya korup dan otoritarian yang
mungkin mengintai birokrasi. Oleh karenanya, Hegel menekankan bahwa kekuatan
birokrasi haruslah dibatasi dengan cara memonitor aktivitasnya, baik dari atas
oleh negara maupun dari bawah oleh masyarakat sipil. Oposisi dalam parlemen
mempunyai hak untuk menuntut birokrasi agar lebih akuntabel.
Karl Marx: Birokrasi Alienatif
Pemikiran
lain tentang birokrasi dikemukakan oleh oleh Karl Marx. Dalam tanggapannya atas
optimisme idealis Hegel tentang birokrasi, Marx menganggap bahwa oposisi
Hegelian antara kepentingan partikular dengan kepentingan universal sebagai hal
yang tak bermakna karena negara sesungguhnya tidak mencerminkan kepentingan
universal. Bagi Marx, birokrasi selamanya hanya mencerminkan kepentingan
partikular dari kelas dominan dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, birokrasi
tak ubahnya instrumen yang dikuasai dan dijalankan oleh kelas berkuasa untuk
mengamankan kepentingannya. Justifikasi dan eksistensi dari birokrasi
sepenuhnya tergantung kepada kelas yang berkuasa. Ketika birokrasi mengklaim
telah merepresentasikan kepentingan universal masyarakat, sesungguhnya itu tak
lebih dari selubung ideologis yang berusaha mengaburkan hakikatnya sebagai
pelayan dominasi kelas penguasa.
Dari
perspektif kelas, kaum birokrat menempati posisi yang ambigu. Di satu sisi,
mereka bukanlah bagian dari kelas sosial manapun karena posisinya yang
non-organis, yakni tidak terkait secara langsung dengan proses produksi, di
mana proses produksi inilah yang secara konstitutif mendefinisikan identitas
kelas yang tegas: atau borjuis atau proletar. Di sisi lain, posisi sedemikian
membuat mereka memiliki posisi yang relatif otonom, sehingga konflik dengan
“pemiliknya” (kaum borjuis) menjadi dimungkinkan, meskipun konflik tersebut
bagaimanapun tidak dapat melewati batas tertentu yang dideterminasi dari
hubungan produksi dan kekuatan produksi.
Birokrasi
juga menjadi entitas yang berperan cukup penting dalam proses alienasi, suatu
konsep yang cukup sentral dalam pemikiran Marx. Dalam proses alienasi suatu
kekuatan sosial menghindar dari kontrol terarah manusia sehingga akibatnya
kekuatan tersebut menjadi mandiri dan berbalik melawan manusia penciptanya.
Demikian pula yang terjadi dalam operasi kerja birokrasi di dunia modern.
Birokrasi menjadi kekuatan otonom dan opresif yang dirasakan masyarakat sebagai
entitas yang misterius, asing, dan berjarak. Meski sehari-hari birokrasi
meregulasi kehidupan manusia, namun manusia sendiri tak mampu mengontrol dan
memahaminya dengan jernih. Dalam istilah Marx, birokrasi adalah “lingkaran
ajaib yang tak seorang pun dapat keluar darinya”. Kerahasiaan menjadi “spirit
universal”. Alienasi birokrasi ini kemudian diperkuat lebih jauh dengan sikap
para birokrat yang menciptakan mitos dan simbol tertentu yang menyucikan dan
memistiskan posisi mereka.
Alienasi
birokrasi tidak hanya terjadi antara birokrat dengan publik, melainkan juga
ditemukan di dalam lingkup birokrasi itu sendiri. Seringkali birokrat tidak
menyadari hakikat parasit dan opresif dari pekerjaan mereka. Mereka berpikir
bahwa mereka sedang berkontrinusi untuk pencapaian kepentingan umum. Ilusi
ideologis ini dikonsolidasi melalui hierarki dan disiplin yang kaku dan juga
melalui pemujaan terhadap otoritas.
Marx memang memandang
birokrasi dengan sangat sinis. Baginya, birokrasi selalu saja dipenuhi dengan
berbagai macam patologi yang akut. Selain tidak kompeten, kebanyakan birokrat
juga kekurangan inisiatif dan imajinasi, takut untuk mengambil tanggung jawab.
Meski demikian, birokrat tetap saja merasa bahwa dirinya memiliki kapasitas
yang mumpuni untuk melakukan segalanya. Itulah salah satu aspek dari apa yang
disebut Marx “materialisme jorok birokrasi” (sordid materialism of
bureaucracy), selain saling jilat untuk promosi, kemelekatan yang
kekanak-kanakan terhadap simbol picisan, status, dan prestise.
Karena segala negativitas
itulah, tak heran jika Marx mengimpikan masyarakat tanpa birokrasi. Dalam
visinya, hal ini hanya dapat dicapai dalam tahapan masyarakat paripurna, yaitu
masyarakat komunisme. Dalam masyarakat komunis yang tanpa kelas, kehadiran
birokrasi dirasa sebagai hal yang berlebihan. Bersama negara, birokrasi harus
melesap (wither away). Pelesapan birokrasi ini dipahami Marx
sebagai penyerapan gradual birokrasi ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
Maksudnya, fungsi-fungsi birokrasi yang positif kini dijalankan oleh semua anggota
masyarakat. Masyarakat komunis adalah masyarakat yang melakukan administrasi
benda-benda, akan tetapi kerja administratif itu kini kehilangan ciri
eksploitatif dan alienatifnya. Setiap anggota masyarakat komunis mampu
melakukan manajemen-diri tanpa perlu dimediasi birokrasi.
Birokrasi
Marxis dalam Praksis: Lenin dan Trotsky
Praksis pertama untuk
mewujudkan negara komunis dilakukan oleh Lenin pasca memimpin Revolusi
Bolshevik tahun 1917 di Uni Soviet. Mengukuhi doktrin Marx, Lenin percaya bahwa
penghilangan gradual birokrasi akan terjadi segera setelah diktator proletariat
didirikan. Perjuangan untuk melenyapkan birokrasi menjadi salah satu tugas
utama pascarevolusi. Untuk meraih tujuan itu, dalamState and Revolution Lenin menggariskan tiga langkah yang
harus dipenuhi, yaitu: 1) pelayan publik yang memenuhi syarat dan dapat ditarik
sewaktu-waktu secara cepat; 2) gaji pegawai negeri dikurangi sampai setara
dengan gaji pekerja biasa; dan 3) penciptaan tatanan benda-benda di mana fungsi
kontrol dan akuntansi yang seiring dengan waktu menjadi semakin sederhana akan
dilakukan secara mandiri oleh masing-masing warga.
Akan
tetapi, kenyataan lapangan yang terjadi di Soviet menemui kesulitan untuk
menerapkan pokok-pokok di atas. Apa yang terjadi justru sebaliknya: struktur
dan kapasitas birokrasi menjadi membengkak dan ekspansif. Uni Soviet
pascarevolusi tak ubahnya negara birokratis tambun yang tidak lincah bergerak.
Menanggapi kenyataan ini, Lenin mengatakan bahwa ekses yang tak diharapkan ini
terjadi karena Soviet masih menjalankan tahapan sosialisme yang belum matang.
Ketidakmatangan ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya perang sipil
yang diikuti kondisi kacau perekonomian negeri, masih dominannya hubungan
produksi non-sosialis antara pekerja dan petani, dan juga masih eksisnya
sisa-sisa rezim lama seperti borjuis kecil dan birokrat tsarist yang kental
dengan mental feodal. Bagaimanapun, Lenin masih percaya bahwa semua hambatan
tersebut akan segera hilang begitu sistem ekonomi industrial yang lebih maju
dikembangkan di Soviet.
Berbeda dengan Lenin, Leon
Trotsky percaya bahwa akar dari fenomena anomali birokrasi di Soviet bukanlah
sosialisme yang belum dewasa, melainkan birokrasi tetap bertahan karena kondisi
sosial objektif memang masih membutuhkannya. Di masa terjadinya revolusi,
Soviet adalah negara miskin yang mengalami kelangkaan sumber daya berupa bahan
pokok objek konsumsi. Dengan kondisi demikian, birokrasi mau tak mau menjadi
dibutuhkan keberadaannya untuk mengoordinasikan distribusi objek konsumsi bagi
semua rakyat dan demi mencegah terjadinya chaos memperebutkan
objek konsumsi.
Lebih
jauh, Trotsky mengatakan bahwa cacat revolusi berakar dari kepercayaan yang
salah bahwa sosialisme dapat ditegakkan di negara agrikultur seperti Soviet. Di
Soviet, substruktur dan industrialisasi yang masih bayi menghalangi
pengembangan suprastruktur politik yang sesuai bagi sosialisme. Ini bukan
berarti bahwa Trotsky mengatakan bahwa revolusi dilakukan secara prematur,
melainkan bahwa revolusi semestinya dilanjutkan dan diperluas ke negara-negara
lain, terutama negara industri maju. Inilah bagian dari doktrinnya tentang
revolusi permanen yang menyerukan revolusi proletar dalam skala global.
Dalam
rangka memaksakan rezim yuridis dan politis sosialis dalam basis material yang
kurang memadai, tindakan-tindakan opresif yang masif dilakukan oleh para
birokrat partai. Lebih parah lagi, birokrasi Soviet lama-lama juga semakin
tercerabut dari basis massa. Ini terutama terjadi pada rezim Stalin. Dalam
kepemimpinan Stalin, tidak ada lagi distingsi antara partai dengan birokrat
negara. Akibatnya, rakyat Soviet kehilangan otonominya secara menyeluruh karena
kekuasaan kini berpusat sepenuhnya dari kelas pekerja ke kaum birokrat dan,
pada akhirnya, Stalin.
Lebih
lanjut, Trotsky juga menyerang pendapat yang mengatakan bahwa birokrasi telah
membentuk kelas tersendiri di Soviet. Birokrasi bukanlah kelas sosial karena,
sesuai dengan posisi dasar Marxisme yang menyatakan bahwa setiap kelas sosial
selalu mempunyai akarnya dalam ranah produksi, kekuasaan yang didapatkannya
berakar dari ranah politik dan bukannya ekonomi. Karena akar ekonominya yang
lemah, maka posisinya dalam proses produksi bersifat non-organik. Memang
birokrat juga mengurusi soal-soal ekonomi, misalnya mendistribusikan pendapatan
atau menata sarana produksi, akan tetapi fungsi tersebut hanya didapatkannya
melalui delegasi sehingga jauh dari proses riil produksi. Posisi sedemikian
pada akhirnya membuat posisi birokrat menjadi tidak pasti dan dominasi yang
digenggamnya sesungguhnya mengandung kerawanan.
Uniknya,
meski mendapati bahwa praksis birokrasi Soviet telah begitu menyimpangnya dari
harapan awal, dalam visinya untuk mewujudkan pelenyapan birokrasi secara total
Trotsky masih memiliki pandangan yang optimis. Baginya, meski pembangunan
ekonomi Soviet diiringi dengan meluasnya dominasi birokrasi, pada saat yang
bersamaan proses tersebut sebenarnya adalah bagian dari persiapan penghancuran
birokrasi. Ini terjadi pertama-tama karena adanya kontradiksi di dalam
birokrasi Soviet. Ketika kekuasaan berpindah dari birokrat rendahan ke eselon
atas secara makin terkonsentrasi, maka akan muncul konflik di dalam birokrasi
yang tidak selalu dapat dipadamkan dengan represi brutal. Di sisi lain, massa
juga lambat laun akan merasakan ketidakpuasan terhadap diktator birokrasi.
Ketika ketidakpuasan itu telah memuncak, Trotsky menyarankan untuk melakukan
revolusi kedua berupa penumbangan rezim negara birokratis pimpinan Stalin.
Max
Weber: Kutukan Birokrasi
Max
Weber adalah seorang sosiolog besar asal Jerman yang pemikirannya tentang
birokrasi telah menjadi sangat klasik dalam literatur akademis. Berbeda dengan
Hegel dan Marx yang memikirkan birokrasi secara sekunder sebagai unsur dari
sistem pemikiran yang lebih luas, Weber mendiskusikan birokrasi secara
tersendiri dan ekstensif. Oleh karenanya, pemikirannya tentang birokrasi
berikut keterkaitannya dengan konsep-konsep lain yang diimplikasikannya akan
dibahas dengan agak panjang lebar di sini.
Menurut
Weber, perkembangan organisasi menjadi lebih besar akan merangsang bertumbuhnya
birokrasi dalam organisasi tersebut. Ini karena organisasi yang besar
membutuhkan mekanisme bagi pelaksanaan tugas-tugas administratif skala luas.
Negara, perusahaan, gereja, atau perserikatan sipil adalah contoh-contoh
organisasi yang dapat berkembang menjadi birokrasi. Birokrasi di sini dipahami
sebagai prinsip-prinsip pengorganisasian dan bukannya instansi eksklusif
tertentu seperti dinas-dinas pemerintah sebagaimana yang dipahami oleh
masyarakat awam di negeri ini. Weber menggunakan istilah birokratisasi untuk
menjelaskan semakin luasnya penerapan prinsip-prinsip birokrasi dalam berbagai
organisasi dan institusi modern.
Secara
rinci Weber menjelaskan bahwa birokrasi mempunyai 15 karakteristik ideal,
yaitu: 1) kekuasaan dimiliki oleh jabatan dan bukan pemegang jabatan; 2)
otoritas ditetapkan melalui aturan-aturan organisasi; 3) tindakan organisasi
bersifat impersonal, melibatkan eksekusi atas kebijakan publik; 4) tindakan
organisasi dikerangkai oleh sistem pengetahuan yang disipliner; 5) aturan
dikodifikasi secara formal; 6) aturan preseden dan abstrak menjadi standar bagi
tindakan organisasi; 7) spesialisasi; 8) batasan yang tegas antara tindakan
birokratis dengan tindakan partikular menentukan legitimasi dari tindakan; 9)
pemisahan fungsional dari tugas-tugas yang diikuti oleh struktur otoritas
formal; 10) kekuasaan yang didelegasikan via hierarki; 11) delegasi kekuasaan diekspresikan
dalam istilah tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang ditetapkan melalui
kontrak; 12) kualitas yang dibutuhkan untuk mengisi posisi diukur dengan
pengakuan kredensial formal (ijazah, sertifikat, dsb); 13) struktur karir dan
promosi, baik atas dasar senioritas maupun prestasi; 14) posisi yang berbeda
dalam hierarki akan menerima pembayaran yang berbeda; dan 15) sentralisasi
koordinasi, komunikasi, dan kontrol.
Di
sini patut dicatat bahwa daftar katalog Weber tentang ciri birokrasi rasional
sebagaimana yang diungkapkan di atas dirumuskannya sebagai “tipe ideal”. Tipe
ideal tersebut lebih baik dipahami sebagai kerangka konseptual yang memandang
birokrasi dalam bentuknya yang murni, yakni indiferen terhadap aspek-aspek khas
yang dimiliki oleh birokrasi-birokrasi riil. Birokratisasi yang sempurna
sendiri dalam sejarahnya belum pernah terwujud secara nyata, maka tidak ada
satu pun organisasi empiris yang sepenuhnya mirip dengan tipe ideal Weber. Jadi
tipe ideal ini sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu pedoman bagi penelitian
empiris. Semakin banyak atribut birokrasi rasional di dalam suatu organisasi,
maka organisasi tersebut dapat dikatakan menjadi semakin birokratis sekaligus
semakin efisien.
Dalam rumusan yang lain,
tipe ideal juga dapat dipahami sebagai dualitas. Artinya, di satu sisi dia
memuat elemen-elemen empiris yang diformulasikan secara induktif setelah Weber
mengobservasi karakteristik tertentu yang ada pada organisasi-organisasi
konkret. Di sisi lain, tipe ideal juga mengandung asumsi tentang
atribut-atribut dari elemen-elemen tersebut. Asumsi tersebut diderivasikan
secara intuitif dari makna ideal yang diduga bersemayam di dalam struktur
tersebut, yakni rasionalitas yang ada pada pola perilaku administratif. Karena
semua alasan itulah, Weber sesungguhnya tidak pernah mengklaim tipe idealnya
sebagai suatu model empiris atau suatu teori tentang birokrasi per se.
Salah
satu fitur krusial dari birokrasi dalam pengertian administrasi publik adalah
keterpisahannya dengan sistem politik. Birokrasi “dipegang” oleh pimpinan
tertinggi organisasi yang tidak sepenuhnya birokratis, yaitu penguasa politik
yang membuat kebijakan publik, entah apakah itu raja, presiden, perdana
menteri, atau ayatollah. Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, maka
dibutuhkanlah birokrasi sebagai bentuk organisasi yang mempunyai superioritas
teknis paling tinggi.
Weber
menganalogikan pemisahan tersebut dengan kosakata Marxis. Birokrat disamakannya
dengan pekerja atau buruh sedangkan elit politik yang menjadi majikannya
sebagai produsen yang menguasai sarana material manajemen organisasi. Properti
organisasi dengan demikian tidak dapat didaku sebagai properti personal milik
birokrat. Akan tetapi, berbeda dengan buruh yang menerima upah, birokrat
memperoleh gaji tetap bulanan berikut uang pensiun, hal yang menjadikan posisi
birokrat mempunyai kebangaan dan prestise sosial yang lebih tinggi daripada
anggota masyarakat kebanyakan. Lagipula kriteria kualifikasi pendidikan yang
dibutuhkan untul menduduki jabatan birokrat secara tak langsung sesungguhnya
telah mengasumsikan profil seseorang yang mempunyai posisi sosial yan tinggi.
Dalam
deskripsi ideal, seluruh aparatus birokrasi semata adalah alat yang dimainkan
oleh pemiliknya, yaitu rezim kekuasaan politik suatu negara. Ini karena berbeda
dengan tatanan feodal yang didasarkan pada kesetiaan personal patron-klien,
mekanisme birokrasi yang bersifat impersonal menjadikan dirinya sebagai entitas
yang siap sedia untuk dimanfaatkan oleh siapa pun yang tahu cara untuk
mengontrolnya. Selain itu, fakta absennya kepemilikan sarana kekuasaan ini juga
memberikan pengaruh. Karena sumber penghidupannya tergantung pada jabatannya,
birokrat menjadi takut untuk kehilangan jabatan dan pekerjaannya. Untuk
menjamin dirinya tidak dipecat, birokrat akan bersikap patuh terhadap setiap
perintah atasan.
Akan tetapi, kenyataan
dapat pula mengatakan hal yang sebaliknya. Di sini, keahlian yang dimiliki oleh
birokrat memegang peranan kunci untuk melakukan pembalikan tata relasi. Seiring
dengan peningkatan kompleksitas kerja birokrasi, pengetahuan terspesialisasi
yang dimiliki birokrat membuatnya memiliki posisi tawar di hadapan penguasa.
Penguasa tidak menguasai pengetahuan administratif sehingga dengan demikian
tidak dapat dengan mudahnya mengontrol birokrat sesuai kehendaknya. Di mata
penguasa, birokrat adalah “necessary evil”
yang darinya dia bergantung. Tanpa birokrat, keinginan penguasa tak dapat
diwujudkan karena hanya birokratlah yang mengetahui cara keinginan tersebut
diwujudkan.
Tendensi
tersebut dapat terjadi dalam berbagai macam rezim politik, terutama rezim
monarkis. Dalam menjalankan kekuasaannya, raja sebuah monarki sangat tergantung
atas informasi yang dipasok oleh jajaran birokratnya. Dalam titik yang paling
ironis, sang tuan justru berbalik menjadi budak, untuk meminjam kategori
Hegelian, karena dia tidak dapat memastikan apakah titahnya akan dipatuhi atau
justru didiamkan. Akan tetapi, rezim demokratis juga bukan tidak mungkin
mengalami fenomena dominasi birokrasi. Meski secara normatif warganegara dapat
melakukan protes apabila pelayanan yang diberikan tidak memuaskannya, dalam
kenyataannya kontrol terhadap birokrasi sungguh sulit untuk dilakukan karena
birokrasi cenderung untuk menyembunyikan dirinya dari pemeriksaan publik.
Birokrasi mempunyai konsep “rahasia jabatan” di mana mereka yang membocorkan
informasi tersebut dapat dihukum. Ini dapat digunakan sebagai mantra andalan
untuk menampik tuntutan akan akuntabilitas.
Sistem
ekonomi kapitalistik merupakan faktor yang turut mendorong perkembangan
birokrasi. Perkiraan rasional tentang risiko ekonomi sebagai hal yang penting
dalam kapitalisme meniscayakan bahwa proses-proses regular dalam persaingan
pasar tidak boleh terganggu oleh kekuatan-kekuatan eksternal dengan cara-cara
yang sulit diduga. Dalam pada itu, dibutuhkanlah suatu pemerintahan kuat yang
mampu menciptakan ketertiban dan stabilitas, memberikan kepastian hukum, dan
membangun infrastruktur, di mana pada gilirannya pemerintahan semacam itu
niscaya mengasumsikan institusi birokrasi berikut aparatusnya. Bagi Weber
kapitalisme dan birokrasi haruslah bergandengan tangan, pandangan yang mungkin
sedikit ganjil bagi kaum fundamentalis pasar dewasa ini.
Weber mempunyai pandangan
yang ambivalen tentang birokrasi dan birokratisasi. Di satu sisi, dia
mengatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi paling efisien yang pernah
diciptakan dalam sejarah manusia. Di sisi lain, Weber juga khawatir akan
patologi yang meluas seiring dengan masifnya pertumbuhan birokra[tisa]si. Alvin
Gouldner mengatakan bahwa teori birokrasi Weber telah menciptakanpathos metafisis bahwa manusia modern dikutuk
untuk hidup bersama dengan birokrasi. Meskipun birokrasi mendehumanisasi
kehidupan manusia, namun Weber juga melihat birokrasi sebagai satu-satunya cara
yang mungkin untuk melakukan pengorganisasian dalam konteks masyarakat modern.
Hubungan manusia modern dengan birokrasi bagaikan hubungan antara bani Adam
dengan dosa asal. Birokrasi dibenci namun tak terelakkan, bahkan
kehadirannyalah yang memberinya identitas sebagai manusia modern.
Untuk memahami bagaimana
birokrasi dapat memberikan efek yang sedemikian problematisnya bagi kehidupan
manusia, terlebih dahulu kita harus memahami konsep Weber tentang
rasionalisasi. Konsep rasionalisasi merujuk pada proses internalisasi modus
bertindak dan berpikir yang khas dari masyarakat modern. Dalam hal ini,
birokrasi merupakan artefak institusional par
excellence dari
rasionalisasi tersebut. Gagasan rasionalisasi mempunyai dua pengertian, yaitu
pencapaian metodis untuk mencapai tujuan definitif tertentu yang telah terberi
menggunakan sarana yang paling efektif. Di sini fokusnya adalah pada sarana,
sejauh mana dia mampu untuk membantu tercapainya suatu tujuan. Tujuan adalah
hal yang tidak boleh dikritisi. Penalaran semacam ini disebut dengan
rasionalitas instrumental.
Di sisi lain, rasionalisasi
juga berarti peningkatan pemahaman teoretis atas realitas yang diperoleh
melalui konsep-konsep yang saksama dan abstrak. Dalam pengertian ini, sains
memegang peranan penting karena sains dipercaya sebagai perangkat yang paling
ampuh dan sahih untuk memahami dan, dengan demikian, menguasai proses-proses
objektif alam. Kepercayaan pada superioritas sains ini pada gilirannya
menggantikan nilai-nilai lama seperti agama, metafisika, dan kearifan tradisional.
Weber menyebut proses ini sebagai “hilangnya pesona dunia” (disenchantment
of the world). Keterpukauan dan keterpesonaan pada dunia, yang
dipasok oleh agama dan tradisi yang memberikan makna serta nilai bagi
kehidupan, kini digantikan oleh sains yang hanya mampu menawarkan pengetahuan
deskriptif yang dingin dan keras tentang realitas.
Birokrasi sebagai
obyektivikasi dari rasionalisasi kemudian juga tak luput dari efek-efek negatif
yang dibawa olehnya. Dalam lingkup sosial makro, terjadi fenomena perluasan
birokratisasi ke segala sektor kehidupan. Ranah-ranah dan fungsi-fungsi sosial
yang lazimnya imun dari norma birokratis ikut dikooptasi oleh virus birokrasi.
Hampir semua organisasi dan aktivitas sosial kini dikoordinasikan dan
diselenggarakan melalui prinsip-prinsip birokratis yang menafikan peran afeksi,
hubungan personal, dan kasih sayang. Akibatnya, masyarakat menjadi frustrasi,
tercerabut, dan menagalami anomie. Inilah yang disebut Weber sebagai “sangkar
besi birokrasi” (iron cage of bureaucracy)
dan kelak disebut Habermas sebagai “kolonialisasi sistem atas dunia-kehidupan (Lebenswelt)”.
Sementara
dalam internal birokrasi, logika rasionalitas instrumental yang hanya berfokus
pada sarana yang paling tepat untuk mencapai tujuan berefek pada terciptanya
pendewaan efisiensi dan absolutisasi rigiditas hierarkis. Akibatnya, birokrat
tak memiliki alternatif lain di hadapan perintah atasan yang ditujukan
kepadanya. Tanggung jawab seorang birokrat hanya terbatas pada implementasi
kebijakan yang dipasrahkan kepadanya karena dia tak boleh mempertanyakan dan
mengkritisi tujuan. Dalam struktur birokrasi yang gigantik, individu dalam
birokrasi hanya berperan sebagai “jentera kecil dalam mekanisme yang bergerak
tanpa henti”. Karena tujuan kebijakan tidak perlu dipertanggung jawabkan, dapat
terjadi fenomena banalitas kejahatan, di mana birokrat tak lagi hirau bahkan
apabila perintah yang ditujukan padanya tersebut nyata-nyata tak
berperikemanusiaan. Birokrat Nazi yang membunuhi orang Yahudi tanpa perasaan
bersalah karena dia sekadar menjalankan perintah atasan, sebagaimana dilaporkan
Hannah Arendt, adalah contoh paling ekstrem dari ilustrasi tersebut.
Dengan
segala jalan buntu yang dihadapi masyarakat modern dalam relasinya dengan
birokrasi, tak heran jika Weber kemudian merasa putus asa. Dia mempunyai
pandangan yang sangat pesimis terhadap masa depan masyarakat modern. Dalam
dunia yang telah terhegemoni oleh rasionalitas instrumental birokrasi, setiap
ikhtiar perubahan adalah hal yang sia-sia belaka. Di suatu masa ketika birokrat
mencengkeram tubuh sosial, revolusi adalah mimpi siang bolong yang hanya akan
berlanjut dengan pendalaman birokratisasi. Ketika mengomentari gerakan
sosialisme yang marak di masanya, Weber memperingatkan bahaya dari peningkatan
dominasi birokrasi yang dapat berujung pada rezim totalitarian dan pelenyapan
kebebasan individual, hal yang kemudian sungguh terjadi di Uni Soviet.
referensi: http://itjen-depdagri.go.id/article-24-birokrasi.html,http://www.adipanca.net/2012/07/definisi-birokrasi-menurut-para-ahli.html , http://galeriilmiah.wordpress.com/2012/02/14/pengantar-birokrasi-klasik-hegel-marx-dan-weber/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar