Senin, 31 Desember 2012

Birokrasi


birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Max Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi.


Beberapa pendapat ahli mengenai Birokrasi :
Fritz Morstein Marx yang mendifinisikan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang sifat spesialisasi dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.
 Ferrel Headi yang mengutip rumusan Thompson menyatakan bahwa birokrasi disusun sebagai suatu hierarki otorita yang begitu terperinci yang mengatasi pembagian kerja dan juga diperinci.
Blau dan Page yang menformulasikan birokrasi sebagai tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistemik pekerjaan banyak orang.

Beberapa pendapat tersebut mungkin cukup bagi kita untuk membuat suatu kesimpulan apa itu birokrasi. Birokrasi menjadi sebuah sistem yang merupakan bagian dari administrasi. seperti yang dikatakan Max Weber sebagai suatu istilah kolektif, mengartikan bahwa birokrasi terdiri dari sekelompok orang atau bahkan organisasi dimana mereka memiliki suatu wewenang khusus dibidangnya masing-masing. 

Saat ini kita sering menyamakan pemerintah sebagai suatu birokrasi. padahal hal ini salah karena keduanya tidak bisa disamakan. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri, oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan. 

Pemerintah merupakan suatu subjek hasil politik sementara birokrat merupakan abdi negara
Dimana birokrasi harus mendapat pengaruh politik secara minimal. Dalam era saat ini ketika Indonesia berada pada puncak kebebasan demokrasi dan kekuatan politik yang multikultural, birokrasi berada pada ujian yang berat untuk mempertahankan jatidirinya sebagai suatu bentuk sistem yang mengabdi pada negara bukan sebagai alat bagi kekuasaan politik. Semoga birokrat sebagai subjek dari birokrasi memahami kedudukanya dan memiliki loyalitas pada negara bukan pada suatu sekte politik tertentu. Netralitas inilah yang akan membuat birokrasi menjadi efesien dan efektif serta pengendali  iklim politik di Indonesia.

Untuk memperdalam pemahaman Kita tentang sejarah birokrasi , mari kita simak bagaimana Teori klasik Birokrasi dari para ahli .

GWF Hegel: Birokrasi sebagai Agen Kepentingan Umum

Renungan Hegel tentang birokrasi muncul dalam konteks filsafat sosial politiknya. Dilihat dari perspektif sistem pemikirannya yang utuh, birokrasi adalah anasir konseptual yang tercakup dalam apa yang disebutnya “roh objektif”, yakni tahapan menengah dari rangkaian perjalanan Roh (Geist) untuk mengenal dirinya yang termanifestasikan dalam kehidupan sosial. Kita tidak akan membicarakan sistem metafisis Hegel tentang Roh ini. Cukuplah di sini untuk membicarakan letak dan fungsi birokrasi dalam ekonomi gagasan Hegel tentang kehidupan sosial-politik.
Birokrasi dipahami dalam konteks “Sittlichkeit”, yang dapat diterjemahkan sebagai tatanan sosial-moral, sebagai suatu tahapan tertinggi dari kehidupan sosial. Dalam Philosophy of Right, Hegel mengatakan bahwa masyarakat sebagai sittlichkeit dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau substansi etis, yaitu keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Birokrasi adalah bagian dari negara yang berperan untuk memediasi kepentingan partikular dari masyarakat sipil dengan kepentingan universal dari negara. Dengan kata lain, birokrasi adalah jembatan antara negara dengan masyarakat sipil.
Peran yang sekilas terlihat ganjil ini dapat kita pahami jika kita mengingat bahwa Hegel memberikan dua karakter pokok pada masyarakat sipil. Pertama, setiap anggota masyarakat sipil berusaha mengejar kepentingan pribadinya. Mereka mengerahkan kekuatan reflektifnya dalam pertukaran pasar dan komodifikasi alam setelah dirinya keluar dari kepompong “feodalistis” keluarga. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, anggota masyarakat sipil lainnya dipandang sebagai sarana untuk meraih tujuan pribadi. Akan tetapi, dan ini karakter pokok kedua dari masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi kepentingan pribadinya tersebut mau tidak mau anggota masyarakat sipil haruslah memuaskan kebutuhan dari anggota masyarakat sipil lainnya. Kepentingan diri yang bersifat timbal balik menjadi basis dari interaksi masyarakat sipil. Ini menujumkan tesis dari Adam Smith bahwa pengejaran kepentingan diri akan menciptakan tatanan sosial.
Namun masyarakat sipil bukanlah substansi yang cukup-diri dan paripurna. Ada berbagai ekses negatif yang mencuat dalam dinamika masyarakat sipil karena terlalu mengedepankan, dalam istilah Isaiah Berlin, kebebasan negatif. Fluktuasi pasar yang liar menyebabkan kesejahteraan tidak dapat dibagi secara merata pada seluruh anggota masyarakat. Akibatnya terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang ekstrim. Lagipula, ketidaksamaan natural dalam hal fisik dan intelektual juga berakibat pada terjadinya ketidaksamaan kemampuan dan sumber daya, yang pada gilirannya tentu juga memengaruhi kesempatan anggota masyarakat untuk sejahtera. Masyarakat sipil adalah “kerajaan kebebasan yang hewani”.
Untuk menetralisasi efek-efek buruk itulah kemudian negara turun tangan. Pasar perlu diintervensi dan diregulasi oleh negara. Negara harus menjamin bahwa seluruh anggota masyarakat sipil mempunyai derajat kebebasan yang setara, baik dalam peluang pekerjaan dan kesejahteraan. Negara harus menciptakan hukum yang bertujuan untuk memberdayakan kelompok yang kalah dalam persaingan pasar dan negara harus menyelenggarakan fungsi-fungsi yang tidak dirambah oleh pasar: pembangunan infrastruktur, penerangan jalan, kesehatan publik, dsb. Dalam hal ini, lembaga eksekutif memegang peranan yang penting karena dia bertugas untuk mengimplementasikan dan menegakkan hukum yang dikodifikasikan oleh negara. Lembaga eksekutif sendiri, oleh Hegel, dibagi menjadi tiga: birokrasi, polisi, dan kehakiman.
Polisi adalah bagian dari lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai organ pelayan publik. Konsep polisi-nya Hegel tidak dapat dipahami secara sempit sebagai instansi yang identik dengan pengurusan masalah kriminal. Istilah ‘polisi’ sendiri diambil dari pengertian “politia”, transliterasi Jerman dari kata Yunani ‘politeia’, yang artinya “hal atau pengaturan publik”. Polisi adalah bagian dari otoritas publik yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan keteraturan sosial. Masalah publik adalah masalah polisi (polizeilich), maka misalnya polisi bertugas membenahi penerangan jalan, pembangunan jembatan, penarikan pajak, mengurusi masalah kesehatan warga, mengurusi perwalian anak dan orang-orang miskin.
Sementara itu, fungsi utama dari birokrasi adalah memediasi kepentingan masyarakat sipil dengan kepentingan negara. Birokrasi memegang peranan yang krusial dalam sistem sosial-politik secara keseluruhan karena nasihat-nasihatnya mampu mengikat negara. Secara normatif, hukum memang dibuat oleh badan legislatif yang terdiri atas perwakilan masyarakat sipil. Akan tetapi, bagi Hegel birokrasi dipercaya memiliki kemampuan untuk mengetahui kepentingan otentik dari masyarakat sipil. Hegel sebenarnya meragukan kemampuan dari masyarakat untuk secara kolektif-rasional menggali dan menemukan apakah yang sebenarnya menjadi kepentingan bersama mereka. Dalam logika dialektis, masyarakat sipil beserta perwakilannya dipostulatkan hanya mampu mengartikulasikan kepentingan partikular sedangkan birokrasilah yang mampu mengartikulasikan kepentingan universal dalam artian kebaikan bersama (bonum commune).
Seperti Emmanuel Kant, Hegel juga mengatakan bahwa cukuplah secara potensial, dan tidak perlu secara aktual, bagi masyarakat untuk menyetujui hukum yang dibuat oleh negara. Jadi jika seseorang mungkin untuk menyetujui hukum, meski dalam kenyataannya dia tidak setuju dengan hukum tersebut, hukum tersebut tetaplah legitim dan rasional. Tentu, profil semacam itu mengandung potensi otoritarian dan Hegel sadar akan hal itu, termasuk bahaya korup dan otoritarian yang mungkin mengintai birokrasi. Oleh karenanya, Hegel menekankan bahwa kekuatan birokrasi haruslah dibatasi dengan cara memonitor aktivitasnya, baik dari atas oleh negara maupun dari bawah oleh masyarakat sipil. Oposisi dalam parlemen mempunyai hak untuk menuntut birokrasi agar lebih akuntabel.
Karl Marx: Birokrasi Alienatif
Pemikiran lain tentang birokrasi dikemukakan oleh oleh Karl Marx. Dalam tanggapannya atas optimisme idealis Hegel tentang birokrasi, Marx menganggap bahwa oposisi Hegelian antara kepentingan partikular dengan kepentingan universal sebagai hal yang tak bermakna karena negara sesungguhnya tidak mencerminkan kepentingan universal. Bagi Marx, birokrasi selamanya hanya mencerminkan kepentingan partikular dari kelas dominan dalam masyarakat. Dalam perspektif ini, birokrasi tak ubahnya instrumen yang dikuasai dan dijalankan oleh kelas berkuasa untuk mengamankan kepentingannya. Justifikasi dan eksistensi dari birokrasi sepenuhnya tergantung kepada kelas yang berkuasa. Ketika birokrasi mengklaim telah merepresentasikan kepentingan universal masyarakat, sesungguhnya itu tak lebih dari selubung ideologis yang berusaha mengaburkan hakikatnya sebagai pelayan dominasi kelas penguasa.
Dari perspektif kelas, kaum birokrat menempati posisi yang ambigu. Di satu sisi, mereka bukanlah bagian dari kelas sosial manapun karena posisinya yang non-organis, yakni tidak terkait secara langsung dengan proses produksi, di mana proses produksi inilah yang secara konstitutif mendefinisikan identitas kelas yang tegas: atau borjuis atau proletar. Di sisi lain, posisi sedemikian membuat mereka memiliki posisi yang relatif otonom, sehingga konflik dengan “pemiliknya” (kaum borjuis) menjadi dimungkinkan, meskipun konflik tersebut bagaimanapun tidak dapat melewati batas tertentu yang dideterminasi dari hubungan produksi dan kekuatan produksi.
Birokrasi juga menjadi entitas yang berperan cukup penting dalam proses alienasi, suatu konsep yang cukup sentral dalam pemikiran Marx. Dalam proses alienasi suatu kekuatan sosial menghindar dari kontrol terarah manusia sehingga akibatnya kekuatan tersebut menjadi mandiri dan berbalik melawan manusia penciptanya. Demikian pula yang terjadi dalam operasi kerja birokrasi di dunia modern. Birokrasi menjadi kekuatan otonom dan opresif yang dirasakan masyarakat sebagai entitas yang misterius, asing, dan berjarak. Meski sehari-hari birokrasi meregulasi kehidupan manusia, namun manusia sendiri tak mampu mengontrol dan memahaminya dengan jernih. Dalam istilah Marx, birokrasi adalah “lingkaran ajaib yang tak seorang pun dapat keluar darinya”. Kerahasiaan menjadi “spirit universal”. Alienasi birokrasi ini kemudian diperkuat lebih jauh dengan sikap para birokrat yang menciptakan mitos dan simbol tertentu yang menyucikan dan memistiskan posisi mereka.
Alienasi birokrasi tidak hanya terjadi antara birokrat dengan publik, melainkan juga ditemukan di dalam lingkup birokrasi itu sendiri. Seringkali birokrat tidak menyadari hakikat parasit dan opresif dari pekerjaan mereka. Mereka berpikir bahwa mereka sedang berkontrinusi untuk pencapaian kepentingan umum. Ilusi ideologis ini dikonsolidasi melalui hierarki dan disiplin yang kaku dan juga melalui pemujaan terhadap otoritas.
Marx memang memandang birokrasi dengan sangat sinis. Baginya, birokrasi selalu saja dipenuhi dengan berbagai macam patologi yang akut. Selain tidak kompeten, kebanyakan birokrat juga kekurangan inisiatif dan imajinasi, takut untuk mengambil tanggung jawab. Meski demikian, birokrat tetap saja merasa bahwa dirinya memiliki kapasitas yang mumpuni untuk melakukan segalanya. Itulah salah satu aspek dari apa yang disebut Marx “materialisme jorok birokrasi” (sordid materialism of bureaucracy), selain saling jilat untuk promosi, kemelekatan yang kekanak-kanakan terhadap simbol picisan, status, dan prestise.
Karena segala negativitas itulah, tak heran jika Marx mengimpikan masyarakat tanpa birokrasi. Dalam visinya, hal ini hanya dapat dicapai dalam tahapan masyarakat paripurna, yaitu masyarakat komunisme. Dalam masyarakat komunis yang tanpa kelas, kehadiran birokrasi dirasa sebagai hal yang berlebihan. Bersama negara, birokrasi harus melesap (wither away). Pelesapan birokrasi ini dipahami Marx sebagai penyerapan gradual birokrasi ke dalam masyarakat secara keseluruhan. Maksudnya, fungsi-fungsi birokrasi yang positif kini dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Masyarakat komunis adalah masyarakat yang melakukan administrasi benda-benda, akan tetapi kerja administratif itu kini kehilangan ciri eksploitatif dan alienatifnya. Setiap anggota masyarakat komunis mampu melakukan manajemen-diri tanpa perlu dimediasi birokrasi.
 Birokrasi Marxis dalam Praksis: Lenin dan Trotsky
Praksis pertama untuk mewujudkan negara komunis dilakukan oleh Lenin pasca memimpin Revolusi Bolshevik tahun 1917 di Uni Soviet. Mengukuhi doktrin Marx, Lenin percaya bahwa penghilangan gradual birokrasi akan terjadi segera setelah diktator proletariat didirikan. Perjuangan untuk melenyapkan birokrasi menjadi salah satu tugas utama pascarevolusi. Untuk meraih tujuan itu, dalamState and Revolution Lenin menggariskan tiga langkah yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pelayan publik yang memenuhi syarat dan dapat ditarik sewaktu-waktu secara cepat; 2) gaji pegawai negeri dikurangi sampai setara dengan gaji pekerja biasa; dan 3) penciptaan tatanan benda-benda di mana fungsi kontrol dan akuntansi yang seiring dengan waktu menjadi semakin sederhana akan dilakukan secara mandiri oleh masing-masing warga.
Akan tetapi, kenyataan lapangan yang terjadi di Soviet menemui kesulitan untuk menerapkan pokok-pokok di atas. Apa yang terjadi justru sebaliknya: struktur dan kapasitas birokrasi menjadi membengkak dan ekspansif. Uni Soviet pascarevolusi tak ubahnya negara birokratis tambun yang tidak lincah bergerak. Menanggapi kenyataan ini, Lenin mengatakan bahwa ekses yang tak diharapkan ini terjadi karena Soviet masih menjalankan tahapan sosialisme yang belum matang. Ketidakmatangan ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya perang sipil yang diikuti kondisi kacau perekonomian negeri, masih dominannya hubungan produksi non-sosialis antara pekerja dan petani, dan juga masih eksisnya sisa-sisa rezim lama seperti borjuis kecil dan birokrat tsarist yang kental dengan mental feodal. Bagaimanapun, Lenin masih percaya bahwa semua hambatan tersebut akan segera hilang begitu sistem ekonomi industrial yang lebih maju dikembangkan di Soviet.
Berbeda dengan Lenin, Leon Trotsky percaya bahwa akar dari fenomena anomali birokrasi di Soviet bukanlah sosialisme yang belum dewasa, melainkan birokrasi tetap bertahan karena kondisi sosial objektif memang masih membutuhkannya. Di masa terjadinya revolusi, Soviet adalah negara miskin yang mengalami kelangkaan sumber daya berupa bahan pokok objek konsumsi. Dengan kondisi demikian, birokrasi mau tak mau menjadi dibutuhkan keberadaannya untuk mengoordinasikan distribusi objek konsumsi bagi semua rakyat dan demi mencegah terjadinya chaos memperebutkan objek konsumsi.
Lebih jauh, Trotsky mengatakan bahwa cacat revolusi berakar dari kepercayaan yang salah bahwa sosialisme dapat ditegakkan di negara agrikultur seperti Soviet. Di Soviet, substruktur dan industrialisasi yang masih bayi menghalangi pengembangan suprastruktur politik yang sesuai bagi sosialisme. Ini bukan berarti bahwa Trotsky mengatakan bahwa revolusi dilakukan secara prematur, melainkan bahwa revolusi semestinya dilanjutkan dan diperluas ke negara-negara lain, terutama negara industri maju. Inilah bagian dari doktrinnya tentang revolusi permanen yang menyerukan revolusi proletar dalam skala global.
Dalam rangka memaksakan rezim yuridis dan politis sosialis dalam basis material yang kurang memadai, tindakan-tindakan opresif yang masif dilakukan oleh para birokrat partai. Lebih parah lagi, birokrasi Soviet lama-lama juga semakin tercerabut dari basis massa. Ini terutama terjadi pada rezim Stalin. Dalam kepemimpinan Stalin, tidak ada lagi distingsi antara partai dengan birokrat negara. Akibatnya, rakyat Soviet kehilangan otonominya secara menyeluruh karena kekuasaan kini berpusat sepenuhnya dari kelas pekerja ke kaum birokrat dan, pada akhirnya, Stalin.
Lebih lanjut, Trotsky juga menyerang pendapat yang mengatakan bahwa birokrasi telah membentuk kelas tersendiri di Soviet. Birokrasi bukanlah kelas sosial karena, sesuai dengan posisi dasar Marxisme yang menyatakan bahwa setiap kelas sosial selalu mempunyai akarnya dalam ranah produksi, kekuasaan yang didapatkannya berakar dari ranah politik dan bukannya ekonomi. Karena akar ekonominya yang lemah, maka posisinya dalam proses produksi bersifat non-organik. Memang birokrat juga mengurusi soal-soal ekonomi, misalnya mendistribusikan pendapatan atau menata sarana produksi, akan tetapi fungsi tersebut hanya didapatkannya melalui delegasi sehingga jauh dari proses riil produksi. Posisi sedemikian pada akhirnya membuat posisi birokrat menjadi tidak pasti dan dominasi yang digenggamnya sesungguhnya mengandung kerawanan.
Uniknya, meski mendapati bahwa praksis birokrasi Soviet telah begitu menyimpangnya dari harapan awal, dalam visinya untuk mewujudkan pelenyapan birokrasi secara total Trotsky masih memiliki pandangan yang optimis. Baginya, meski pembangunan ekonomi Soviet diiringi dengan meluasnya dominasi birokrasi, pada saat yang bersamaan proses tersebut sebenarnya adalah bagian dari persiapan penghancuran birokrasi. Ini terjadi pertama-tama karena adanya kontradiksi di dalam birokrasi Soviet. Ketika kekuasaan berpindah dari birokrat rendahan ke eselon atas secara makin terkonsentrasi, maka akan muncul konflik di dalam birokrasi yang tidak selalu dapat dipadamkan dengan represi brutal. Di sisi lain, massa juga lambat laun akan merasakan ketidakpuasan terhadap diktator birokrasi. Ketika ketidakpuasan itu telah memuncak, Trotsky menyarankan untuk melakukan revolusi kedua berupa penumbangan rezim negara birokratis pimpinan Stalin.
 Max Weber: Kutukan Birokrasi
Max Weber adalah seorang sosiolog besar asal Jerman yang pemikirannya tentang birokrasi telah menjadi sangat klasik dalam literatur akademis. Berbeda dengan Hegel dan Marx yang memikirkan birokrasi secara sekunder sebagai unsur dari sistem pemikiran yang lebih luas, Weber mendiskusikan birokrasi secara tersendiri dan ekstensif. Oleh karenanya, pemikirannya tentang birokrasi berikut keterkaitannya dengan konsep-konsep lain yang diimplikasikannya akan dibahas dengan agak panjang lebar di sini.
Menurut Weber, perkembangan organisasi menjadi lebih besar akan merangsang bertumbuhnya birokrasi dalam organisasi tersebut. Ini karena organisasi yang besar membutuhkan mekanisme bagi pelaksanaan tugas-tugas administratif skala luas. Negara, perusahaan, gereja, atau perserikatan sipil adalah contoh-contoh organisasi yang dapat berkembang menjadi birokrasi. Birokrasi di sini dipahami sebagai prinsip-prinsip pengorganisasian dan bukannya instansi eksklusif tertentu seperti dinas-dinas pemerintah sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat awam di negeri ini. Weber menggunakan istilah birokratisasi untuk menjelaskan semakin luasnya penerapan prinsip-prinsip birokrasi dalam berbagai organisasi dan institusi modern.
Secara rinci Weber menjelaskan bahwa birokrasi mempunyai 15 karakteristik ideal, yaitu: 1) kekuasaan dimiliki oleh jabatan dan bukan pemegang jabatan; 2) otoritas ditetapkan melalui aturan-aturan organisasi; 3) tindakan organisasi bersifat impersonal, melibatkan eksekusi atas kebijakan publik; 4) tindakan organisasi dikerangkai oleh sistem pengetahuan yang disipliner; 5) aturan dikodifikasi secara formal; 6) aturan preseden dan abstrak menjadi standar bagi tindakan organisasi; 7) spesialisasi; 8) batasan yang tegas antara tindakan birokratis dengan tindakan partikular menentukan legitimasi dari tindakan; 9) pemisahan fungsional dari tugas-tugas yang diikuti oleh struktur otoritas formal; 10) kekuasaan yang didelegasikan via hierarki; 11) delegasi kekuasaan diekspresikan dalam istilah tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang ditetapkan melalui kontrak; 12) kualitas yang dibutuhkan untuk mengisi posisi diukur dengan pengakuan kredensial formal (ijazah, sertifikat, dsb); 13) struktur karir dan promosi, baik atas dasar senioritas maupun prestasi; 14) posisi yang berbeda dalam hierarki akan menerima pembayaran yang berbeda; dan 15) sentralisasi koordinasi, komunikasi, dan kontrol.
Di sini patut dicatat bahwa daftar katalog Weber tentang ciri birokrasi rasional sebagaimana yang diungkapkan di atas dirumuskannya sebagai “tipe ideal”. Tipe ideal tersebut lebih baik dipahami sebagai kerangka konseptual yang memandang birokrasi dalam bentuknya yang murni, yakni indiferen terhadap aspek-aspek khas yang dimiliki oleh birokrasi-birokrasi riil. Birokratisasi yang sempurna sendiri dalam sejarahnya belum pernah terwujud secara nyata, maka tidak ada satu pun organisasi empiris yang sepenuhnya mirip dengan tipe ideal Weber. Jadi tipe ideal ini sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu pedoman bagi penelitian empiris. Semakin banyak atribut birokrasi rasional di dalam suatu organisasi, maka organisasi tersebut dapat dikatakan menjadi semakin birokratis sekaligus semakin efisien.
Dalam rumusan yang lain, tipe ideal juga dapat dipahami sebagai dualitas. Artinya, di satu sisi dia memuat elemen-elemen empiris yang diformulasikan secara induktif setelah Weber mengobservasi karakteristik tertentu yang ada pada organisasi-organisasi konkret. Di sisi lain, tipe ideal juga mengandung asumsi tentang atribut-atribut dari elemen-elemen tersebut. Asumsi tersebut diderivasikan secara intuitif dari makna ideal yang diduga bersemayam di dalam struktur tersebut, yakni rasionalitas yang ada pada pola perilaku administratif. Karena semua alasan itulah, Weber sesungguhnya tidak pernah mengklaim tipe idealnya sebagai suatu model empiris atau suatu teori tentang birokrasi per se.
Salah satu fitur krusial dari birokrasi dalam pengertian administrasi publik adalah keterpisahannya dengan sistem politik. Birokrasi “dipegang” oleh pimpinan tertinggi organisasi yang tidak sepenuhnya birokratis, yaitu penguasa politik yang membuat kebijakan publik, entah apakah itu raja, presiden, perdana menteri, atau ayatollah. Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, maka dibutuhkanlah birokrasi sebagai bentuk organisasi yang mempunyai superioritas teknis paling tinggi.
Weber menganalogikan pemisahan tersebut dengan kosakata Marxis. Birokrat disamakannya dengan pekerja atau buruh sedangkan elit politik yang menjadi majikannya sebagai produsen yang menguasai sarana material manajemen organisasi. Properti organisasi dengan demikian tidak dapat didaku sebagai properti personal milik birokrat. Akan tetapi, berbeda dengan buruh yang menerima upah, birokrat memperoleh gaji tetap bulanan berikut uang pensiun, hal yang menjadikan posisi birokrat mempunyai kebangaan dan prestise sosial yang lebih tinggi daripada anggota masyarakat kebanyakan. Lagipula kriteria kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan untul menduduki jabatan birokrat secara tak langsung sesungguhnya telah mengasumsikan profil seseorang yang mempunyai posisi sosial yan tinggi.
Dalam deskripsi ideal, seluruh aparatus birokrasi semata adalah alat yang dimainkan oleh pemiliknya, yaitu rezim kekuasaan politik suatu negara. Ini karena berbeda dengan tatanan feodal yang didasarkan pada kesetiaan personal patron-klien, mekanisme birokrasi yang bersifat impersonal menjadikan dirinya sebagai entitas yang siap sedia untuk dimanfaatkan oleh siapa pun yang tahu cara untuk mengontrolnya. Selain itu, fakta absennya kepemilikan sarana kekuasaan ini juga memberikan pengaruh. Karena sumber penghidupannya tergantung pada jabatannya, birokrat menjadi takut untuk kehilangan jabatan dan pekerjaannya. Untuk menjamin dirinya tidak dipecat, birokrat akan bersikap patuh terhadap setiap perintah atasan.
Akan tetapi, kenyataan dapat pula mengatakan hal yang sebaliknya. Di sini, keahlian yang dimiliki oleh birokrat memegang peranan kunci untuk melakukan pembalikan tata relasi. Seiring dengan peningkatan kompleksitas kerja birokrasi, pengetahuan terspesialisasi yang dimiliki birokrat membuatnya memiliki posisi tawar di hadapan penguasa. Penguasa tidak menguasai pengetahuan administratif sehingga dengan demikian tidak dapat dengan mudahnya mengontrol birokrat sesuai kehendaknya. Di mata penguasa, birokrat adalah “necessary evil” yang darinya dia bergantung. Tanpa birokrat, keinginan penguasa tak dapat diwujudkan karena hanya birokratlah yang mengetahui cara keinginan tersebut diwujudkan.
Tendensi tersebut dapat terjadi dalam berbagai macam rezim politik, terutama rezim monarkis. Dalam menjalankan kekuasaannya, raja sebuah monarki sangat tergantung atas informasi yang dipasok oleh jajaran birokratnya. Dalam titik yang paling ironis, sang tuan justru berbalik menjadi budak, untuk meminjam kategori Hegelian, karena dia tidak dapat memastikan apakah titahnya akan dipatuhi atau justru didiamkan. Akan tetapi, rezim demokratis juga bukan tidak mungkin mengalami fenomena dominasi birokrasi. Meski secara normatif warganegara dapat melakukan protes apabila pelayanan yang diberikan tidak memuaskannya, dalam kenyataannya kontrol terhadap birokrasi sungguh sulit untuk dilakukan karena birokrasi cenderung untuk menyembunyikan dirinya dari pemeriksaan publik. Birokrasi mempunyai konsep “rahasia jabatan” di mana mereka yang membocorkan informasi tersebut dapat dihukum. Ini dapat digunakan sebagai mantra andalan untuk menampik tuntutan akan akuntabilitas.
Sistem ekonomi kapitalistik merupakan faktor yang turut mendorong perkembangan birokrasi. Perkiraan rasional tentang risiko ekonomi sebagai hal yang penting dalam kapitalisme meniscayakan bahwa proses-proses regular dalam persaingan pasar tidak boleh terganggu oleh kekuatan-kekuatan eksternal dengan cara-cara yang sulit diduga. Dalam pada itu, dibutuhkanlah suatu pemerintahan kuat yang mampu menciptakan ketertiban dan stabilitas, memberikan kepastian hukum, dan membangun infrastruktur, di mana pada gilirannya pemerintahan semacam itu niscaya mengasumsikan institusi birokrasi berikut aparatusnya. Bagi Weber kapitalisme dan birokrasi haruslah bergandengan tangan, pandangan yang mungkin sedikit ganjil bagi kaum fundamentalis pasar dewasa ini.
Weber mempunyai pandangan yang ambivalen tentang birokrasi dan birokratisasi. Di satu sisi, dia mengatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi paling efisien yang pernah diciptakan dalam sejarah manusia. Di sisi lain, Weber juga khawatir akan patologi yang meluas seiring dengan masifnya pertumbuhan birokra[tisa]si. Alvin Gouldner mengatakan bahwa teori birokrasi Weber telah menciptakanpathos metafisis bahwa manusia modern dikutuk untuk hidup bersama dengan birokrasi. Meskipun birokrasi mendehumanisasi kehidupan manusia, namun Weber juga melihat birokrasi sebagai satu-satunya cara yang mungkin untuk melakukan pengorganisasian dalam konteks masyarakat modern. Hubungan manusia modern dengan birokrasi bagaikan hubungan antara bani Adam dengan dosa asal. Birokrasi dibenci namun tak terelakkan, bahkan kehadirannyalah yang memberinya identitas sebagai manusia modern.
Untuk memahami bagaimana birokrasi dapat memberikan efek yang sedemikian problematisnya bagi kehidupan manusia, terlebih dahulu kita harus memahami konsep Weber tentang rasionalisasi. Konsep rasionalisasi merujuk pada proses internalisasi modus bertindak dan berpikir yang khas dari masyarakat modern. Dalam hal ini, birokrasi merupakan artefak institusional par excellence dari rasionalisasi tersebut. Gagasan rasionalisasi mempunyai dua pengertian, yaitu pencapaian metodis untuk mencapai tujuan definitif tertentu yang telah terberi menggunakan sarana yang paling efektif. Di sini fokusnya adalah pada sarana, sejauh mana dia mampu untuk membantu tercapainya suatu tujuan. Tujuan adalah hal yang tidak boleh dikritisi. Penalaran semacam ini disebut dengan rasionalitas instrumental.
Di sisi lain, rasionalisasi juga berarti peningkatan pemahaman teoretis atas realitas yang diperoleh melalui konsep-konsep yang saksama dan abstrak. Dalam pengertian ini, sains memegang peranan penting karena sains dipercaya sebagai perangkat yang paling ampuh dan sahih untuk memahami dan, dengan demikian, menguasai proses-proses objektif alam. Kepercayaan pada superioritas sains ini pada gilirannya menggantikan nilai-nilai lama seperti agama, metafisika, dan kearifan tradisional. Weber menyebut proses ini sebagai “hilangnya pesona dunia” (disenchantment of the world). Keterpukauan dan keterpesonaan pada dunia, yang dipasok oleh agama dan tradisi yang memberikan makna serta nilai bagi kehidupan, kini digantikan oleh sains yang hanya mampu menawarkan pengetahuan deskriptif yang dingin dan keras tentang realitas.
Birokrasi sebagai obyektivikasi dari rasionalisasi kemudian juga tak luput dari efek-efek negatif yang dibawa olehnya. Dalam lingkup sosial makro, terjadi fenomena perluasan birokratisasi ke segala sektor kehidupan. Ranah-ranah dan fungsi-fungsi sosial yang lazimnya imun dari norma birokratis ikut dikooptasi oleh virus birokrasi. Hampir semua organisasi dan aktivitas sosial kini dikoordinasikan dan diselenggarakan melalui prinsip-prinsip birokratis yang menafikan peran afeksi, hubungan personal, dan kasih sayang. Akibatnya, masyarakat menjadi frustrasi, tercerabut, dan menagalami anomie. Inilah yang disebut Weber sebagai “sangkar besi birokrasi” (iron cage of bureaucracy) dan kelak disebut Habermas sebagai “kolonialisasi sistem atas dunia-kehidupan (Lebenswelt)”.
Sementara dalam internal birokrasi, logika rasionalitas instrumental yang hanya berfokus pada sarana yang paling tepat untuk mencapai tujuan berefek pada terciptanya pendewaan efisiensi dan absolutisasi rigiditas hierarkis. Akibatnya, birokrat tak memiliki alternatif lain di hadapan perintah atasan yang ditujukan kepadanya. Tanggung jawab seorang birokrat hanya terbatas pada implementasi kebijakan yang dipasrahkan kepadanya karena dia tak boleh mempertanyakan dan mengkritisi tujuan. Dalam struktur birokrasi yang gigantik, individu dalam birokrasi hanya berperan sebagai “jentera kecil dalam mekanisme yang bergerak tanpa henti”. Karena tujuan kebijakan tidak perlu dipertanggung jawabkan, dapat terjadi fenomena banalitas kejahatan, di mana birokrat tak lagi hirau bahkan apabila perintah yang ditujukan padanya tersebut nyata-nyata tak berperikemanusiaan. Birokrat Nazi yang membunuhi orang Yahudi tanpa perasaan bersalah karena dia sekadar menjalankan perintah atasan, sebagaimana dilaporkan Hannah Arendt, adalah contoh paling ekstrem dari ilustrasi tersebut.
Dengan segala jalan buntu yang dihadapi masyarakat modern dalam relasinya dengan birokrasi, tak heran jika Weber kemudian merasa putus asa. Dia mempunyai pandangan yang sangat pesimis terhadap masa depan masyarakat modern. Dalam dunia yang telah terhegemoni oleh rasionalitas instrumental birokrasi, setiap ikhtiar perubahan adalah hal yang sia-sia belaka. Di suatu masa ketika birokrat mencengkeram tubuh sosial, revolusi adalah mimpi siang bolong yang hanya akan berlanjut dengan pendalaman birokratisasi. Ketika mengomentari gerakan sosialisme yang marak di masanya, Weber memperingatkan bahaya dari peningkatan dominasi birokrasi yang dapat berujung pada rezim totalitarian dan pelenyapan kebebasan individual, hal yang kemudian sungguh terjadi di Uni Soviet.




referensi: http://itjen-depdagri.go.id/article-24-birokrasi.html,http://www.adipanca.net/2012/07/definisi-birokrasi-menurut-para-ahli.html , http://galeriilmiah.wordpress.com/2012/02/14/pengantar-birokrasi-klasik-hegel-marx-dan-weber/












Tidak ada komentar:

Posting Komentar